Langsung ke konten utama

SAHABAT - Dinda Astari Sinurat

Sahabat

“Na, di ATM mu ada uang berapa?” tanyaku pada Aina, saat kami mengantri mengambil wudhu didepan tempat wudhu di mushola kampus.
“1,9 juta, Dit. Kenapa?” tanyanya sambil menatap tajam mataku.
“Aku ada perlu, aku pakai dulu semua boleh? Seminggu lagi aku bayar. Boleh ya Na. Aku minta tolong banget. Please,” Ku pegang erat tangannya, memandang matanya dengan wajah memelas berharap dia luluh.
“Oke, aku kasih. Tapi beneran satu minggu yah. Aku perlu uang pegangan untuk beli obat dadakan soalnya.”
“Oke,” jawabku bersemangat lalu memeluk tubuhnya. Aina yang ku peluk malah mendorong jidatku agar aku melepaskan pelukannya.

Aina adalah sahabat terdekatku. Dia merupakan anak yang taat dan mandiri. Sholat dan ibadah shunnah tidak pernah lepas dari dirinya. Bahkan dia sering membawa Al Qur’an kecil untuk dia baca saat menunggu jam perkuliahan selanjutnya. Aina juga anak yang cerdas, menjadi sahabatnya berhasil menyelamatkanku dari telat wisuda. Sebelum dekat dengannya IPku hanya berkisar di 2,75 – 2,89 tapi berkatnya aku bisa meraih IP diatas 3. Aina juga pemadam kelaparanku. Dia selalu membagi bekal makan siangnya denganku, padahal bekal itu hanyak cukup untuk makan satu orang.

Ayah Aina sakit. Dia mengalami stroke dan sebagian badannya telah lumpuh. Berminggu – minggu dirawat di ruang ICU rumah sakit. Penyakitnya mengharuskannya mengkonsumsi obat – obatan yang tidak sedikit dengan harga yang cukup mahal. Aina dan keluarganya bahu membahu mengumpulkan uang untuk biaya berobat ayah mereka. Mulai dari gaji abang – abangnya dan uang dari hasil berjualan di kampus. Aina yang mandiri tak malu berdagang di areal perkuliahan, dia menjual bros jilbab dan keripik pedas. Untung yang didapat untuk tiap bros dan bungkus keripik sangat kecil tetapi Aina mampu menjual 100 bungkus keripik dan 20 bros dalam sehari. Sehingga dia memiliki sedikit uang lebih.

Hari ini aku memutuskan meminjam uang Aina, untuk aku belikan hadiah ulang tahun pacarku. Dia berulang tahun yang ke 28 minggu ini. Aku berniat membelikannya jam bermerk yang sangat ia inginkan. Harganya berkisar 2 juta tapi uang yang kumiliki hanya 450 ribu. Aku akan menggunakan uang Aina sebanyak 1,9 juta. 1,55 juta untuk kekurangan membeli jam 350 ribu untuk membeli tart yang enak. Aku sangat yakin bisa mengembalikan uang yang aku pinjam dari Aina dalam waktu seminggu. Toh setelah memberikan kejutan ulang tahun pada pacarku, aku bisa meminta uang padanya seperti yang ku lakukan sebelum – sebelumnya.

Pacarku adalah pria yang tampan dan mapan. Mas Doni aku memanggilnya. Dia telah bekerja di sebuah Bank sebagai Teller. Sebagai karyawan Bank dia dituntut untuk tampil rapi dan prima. Agar memberi kesan bagus bagi para nasabah. Dari hasil bekerjanya, dia telah memiliki sebuah rumah dan mobil walau dengan cara kredit. Aku sangat bangga setiap ia berkunjung kerumah atau saat mengajak jalan – jalan. Aku tanpa segan akan mengandengnya dan menunjukkan pada dunia pria tampan dan mampan ini adalah pacarku.
****

“Selamat ulang tahun sayang,” ku kecup dahi Mas Doni. Tidak lupa tanganku menyodorkan kotak hitam kecil berpita merah. Kami merayakan ulang tahun dirumahnya. Tepatnya diruang tamu rumahnya. Hanya ada kami berdua malam itu.
“Apa ini sayang?” tanyanya sambil meraih kotak yang ada ditanganku. Di bukanya kotak itu perlahan. Awalnya doni tersenyum, lalu tiba – tiba wajahnya berubah sendu.
“Kenapa Mas Doni mukanya sedih gitu? Gak suka yah sama hadiah dari Dita?” tanyaku cemas. Aku khawatir. Ku tangkup pipinya dengan kedua tanganku.
“Dita tahu apa yang mas inginkan sebagai hadiah ulang tahun?” matanya memandang lekat mataku. Ia berkedip dua kali lalu memandang bibirku.
“Aku ingin kau Dita. Menjadi milikku seutuhnya. Menikah denganku?” matanya kembali menatapku.

Apa ini sebuah lamaran? Jantungku berdegup kencang sekali sampai tanganku ikut bergetar. Ku tarik tanganku dari wajah Mas Doni. Takut ia tahu aku berdebar. Ku palingkan wajahku ke kue Tart yang ku beli untuknya. 28 angka yang ada diatasnya. Dia sudah berumur 28 tahun, umur yang pantas untuk menikah. Tidak salah jika ia melamarku. Jantungku tidak menentu. Ku tarik napas dalam – dalam lalu ku hembuskan kasar. Berkali – kali berharap bisa segera tenang dan mengendalikan diri.
“Kenapa? Apa kau ragu?” ia bergerak mendekatiku menarik tanganku agar menghadap padanya.
“Enggak Mas, Dita malah senang. Tapi …” belum sempat aku menyelesaikan ucapanku dia mengecup dahiku.
“Aku tak suka mendengar kata tapi, itu seperti penolakan.” Ujarnya penuh penekanan. Matanya tajam melihatku. Rahangnya mengeras. Dia terlihat marah. Ini pertama kalinya Mas Doni marah padaku.
“Maafkan Dita, Mas. Dita senang Mas mau memilih Dita sebagai calon istri Mas. Dita janji Dita akan berusaha menjadi istri, ibu dan menantu yang baik untuk Mas dan keluarga Mas.” Aku memeluknya erat, meletak kepalaku di dadanya. Dia bergeming. Lalu dilepaskannya pelukanku.
“Aku takkan memilih orang yang meragukanku!” lalu ia berdiri. Berjalan ke arah pintu depan dan membukanya.
“Pergilah!” ujarnya lalu menatap keluar, ke arah jalanan.
Aku sangat terkejut, Mas Doni benar – benar marah. Aku sangat takut. Bukan takut akan kemarahannya, lebih ke takut akan kehilangan dirinya. Aku berdiri dengan tergesa – gesa, ku peluk dirinya sambil menangis.
“Aku sangat mencintaimu Mas, aku hanya berpikir pernikahan ini terlalu cepat. Aku ingin menyelesaikan studi dulu lalu menikah Mas. Aku sangat mencintaimu Mas, jangan marah padaku. Aku akan menikah denganmu sekarang juga. Kumohon jangan marah padaku. Aku tidak ingin kehilanganmu,” Isakku.
“Buktikan, buktikan kalau kau mencintaiku!” ditangkupnya wajahku agar tepat menghadap wajahnya. Aku hanya diam, berusaha memikirkan cara membuktikan cintaku. Wajah Mas Doni perlahan mendekat, dikecupnya bibirku.
“Jadikan dirimu milikku,” ujarnya dengan suara parau. Lalu kembali menciumku. Kubiarkan diriku terbawa arus penuh dosa. Tak menyesal karena pada akhirnya kami akan menikah. Kubiarkan diriku jadi miliknya seperti apa yang dia pinta.
****

Seminggu berlalu setelah kejadian itu. Mas Doni semakin sering ke rumah. Ia juga telah menyampaikan niatnya menikahiku pada orang tuaku. Ayah sangat senang pun Ibu. Mereka bahkan telah menyebut mahar. Uang Aina yang ku pinjam telah kubayar 900 ribu. Masih tersisa 1 juta lagi. Mas Doni tidak memberiku uang yang banyak minggu ini, alasannya ia mulai menabung untuk mahar. Aku berjanji pada Aina akan membayar sisanya seminggu lagi.

Awalnya Aina setuju. Tetapi ayahnya tiba – tiba kritis. Aina sangat membutuhkan uang untuk penanganan ayahnya. Dan sekarang ia dirumahku menagih uangnya. Tidak ada Ayah dan Ibu dirumah. Hanya Aku sendiri.
“Aku beneran butuh Dit. Uangku gak ada sama sekali. Ayahku kritis, dokter minta obat ini dan itu, kami harus stand by membelinya. Obatnya tidak ditanggung BPJS dan tidak ada stok dirumah sakit. Harus beli diluar,” ucapnya dengan suara lirih. Dia terlihat panik. Kedua tangannya saling mengenggam saat berbicara.
“Aku beneran gak ada uang Aina, Ibu dan Ayah juga gak ada dirumah," Ku tatap matanya mencoba meyakinkannya.
“Pinjam sama pacarmu. Please Dita tolong Aku,” ada bulir bening mengalir di ujung matanya. Aku kasihan padanya. Tapi aku lebih kasihan pada pacarku. Dia pasti tidak punya uang sekarang karena fokus mengumpulkan uang untuk maharku.
“Mas Doni jam segini lagi kerja, dia gak bakal angkat telepon,” ujarku dengan suara yang dibuat sesedih mungkin. Aku ingin Aina tahu aku menyesal.
“Ibu dan Ayahmu coba telepon. Aku beneran butuh Dita,” Aina terisak.

Aku kasihan tapi bagaimanapun aku tidak bisa menelpon mereka untuk meminta uang. Aku sudah terlanjur bilang pada mereka kalau Mas Doni telah memenuhi kebutuhanku selama ini. Bahkan memberiku lebih hingga aku punya simpanan uang. Jika aku menelpon mereka dan meminta uang, mereka akan curiga dan bisa sajakan pernikahan kami dibatalkan. Aku ngeri membayangkan jika seandainya aku tidak menikah dengan Mas Doni. Pria mana yang akan menerima wanita tak perawan sebagai istri. Cepat – cepat kubuang pikiranku. Ku ambil handphone dan mengetik nama Ibu.
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan,” ku speaker saat operator mengatakan itu agar Aina mendengarnya. Ku telfon juga nomor Ayah dan berakhir sama.
“Mereka gak bisa ku hubungi Na. Aku minta maaf,” ucapku dengan suara kubuat lesu. Nomor Ayah dan Ibu yang kuhubungi tadi adalah nomor lama mereka yang sudah tidak aktif lagi dan kebetulan masih tersimpan di handphoneku.
“Maaf Aina,” kupeluk ia sambil aku ikut terisak. Susah sekali ternyata berpura - pura menangis. Kugosok – gosok mataku dengan tangan saat berada dipunggungnya ketika memeluknya. Ku buat ekspresi menangis. Dia hanya diam lalu menunduk. Dilepasnya pelukan kami. Dengan langkah gontai ia meninggalkan rumahku. Tak lupa ia mengucap salam sebelum memacu motornya. Ada rasa bersalah menyeruak. Namun cepat – cepat ku tepis.
****

 4 jam setelah kepulangan Aina handphoneku berdering. Ratih, teman sekelas kami di kampus menelponku.
'Dit, Aina kecelakaan. Motornya ditabrak truk. Tabrak lari. Dia kecelakaan di jalan Gambus Laut. Itu bukannya jalan kerumahmu ya? Kamu lagi dimana sekarang? Cepat ke rumah sakit Simpang Sinanam.' suara Ratih terdengar panik.

Aku takut sekali. Bagaimana jika penyebab tabrakannya adalah beban pikiran Aina karena hutangnya belum aku bayar. Dia pasti sangat membenciku. Bagaimana jika keluarganya tahu. Bagaimana jika Ratih tahu? Dan bagaimana jika Mas Doni tahu aku memiliki hutang dengan Aina. Dia pasti akan membenciku.

'Aku lagi keluar kota Rat, sama keluarga. Aku gak bisa kesana, gak memungkinkan. Lagian ini uda malem, gak ada bus untuk pulang' jawabku berkilah. Yah Tuhan. Aku berbohong lagi. Jantungku berdegup kencang, khawatir Ratih tidak mempercayaiku.
'Yaudah. Besok jangan lupa kesini. Kamu tuh sahabatnya. Setidaknya harus ada saat dia dalam masa sulit' ujarnya menasehatiku.
'iyah Ratih. Jaga Aina untukku' aku lalu menutup sambungan telepon.

Aku langsung berbaring kekamar. Aku benar – benar ketakutan dan itu membuat kepalaku pusing. Ku coba pejamkan mata agar tertidur. Namun tiba – tiba handphoneku bergetar. Sebuah pesan masuk di WAG kelasku di kampus.

[ innalillahi wainnailaihi rojiun. Telah berpulang ke rahmatullah Ayahanda dari sahabat kita Aina Larasati malam ini pukul 08:12 WIB. Jenazah akan dikebumikan besok Bada’ Shubuh. Diharapkan semua teman sekelas untuk hadir ke prosesi pemakaman dan memberi semangat pada Aina dan keluarga yang ditinggalkan.] Ratih yang mengirim pesan tersebut.

Lalu ku chat Ratih menanyakan kabar Aina. 1 menit, 2 menit dia tidak membalas. Padahal chatku sudah centang biru. Tanganku dingin. Apa jangan – jangan Aina telah mengatakan yang sebenarnya pada Ratih dan membuat Ratih marah serta tak mau membalas pesanku.
Ting. Pesan masuk dari Ratih. Dia mengirimiku sebuah foto. Foto Aina duduk di atas tempat tidur di sebuah kamar rumah sakit bernuansa biru. Kaki kirinya di gips dan wajahnya penuh memar. Balutan perban juga melilit mata, lengan kanan dan siku kirinya. Rembesan darah terlihat jelas di perban – perban tersebut.
[ Aina buta Dit. Pecahan kaca helmnya mengenai matanya. Kemarilah kita harus membantu Aina menemukan penyebab kecelakaannya. Dia kehilangan segalanya termasuk matanya. Setidaknya kita harus membantu Aina menemukan keadilan] tulis Ratih.

Ratih masih sedang mengetik. Aku ketakutan. Tanganku bergetar, dadaku bergemuruh. Cepat – cepat ku blokir kontak Ratih. Bagaimana ini? Bagaimana jika mereka melaporkan kecelakaan Aina ke kantor polisi dan melakukan penyelidikan? Bagaimana jika aku terseret? Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Aku akan segera menikah, aku harus menghindari hal – hal seperti ini. Segera aku beranjak dari tempat tidur. Ku kemasi barang – barangku secepat mungkin. Aku akan pulang kampung sementara. Sampai situasi aman. Bahkan sampai H - 7 pernikahanku jika diperlukan.

Next?

Baca juga

Bapakku (bukan) pembohong
https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=2774386105956596&comment_id=2778674568861083&ref=m_notif&notif_t=group_comment&_rdr

Anak gadisku
https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=2769154219813118&ref=m_notif&notif_t=group_comment&refid=12

Anak
https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=2869352736459932&refid=46&__xts__%5B0%5D=12.%7B"unit_id_click_type"%3A"graph_search_results_item_tapped"%2C"click_type"%3A"resul

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tetangga Oh Tetangga - Tina Oji

Tetangga Oh Tetangga "Mbak Shinta, boleh minta garamnya sedikit? Aku mau bikin ayam goreng tapi garamnya habis. Mau pergi ke warung kok males, panas-panas gini." Suara Bu Wahyuni mengagetkanku yang sedang mengulek bumbu. Wajahnya menyembul dari balik pintu belakang. "Boleh, Bu. Silakan ambil seperlunya," sahutku sambil memberikan toples dan sebuah mangkuk kecil untuk wadah garam Bu Wahyuni. "Kalau ada sekalian sama kunyit, bawang putih dan ketumbarnya, Mbak," ucapnya lagi tanpa merasa sungkan. Bu Wahyuni adalah tetangga baruku, dia menempati rumah kosong di sebrang jalan, tepat berhadapan dengan rumahku. Baru sebulan tinggal di sini, dia sudah mulai akrab dengan keluargaku. Sering dia menitip belanjaan ketika aku ke pasar, dan ketika aku minta uangnya, selalu bilang, "pake uang Mbak Shinta dulu nanti aku ganti." Dan dia akan marah-marah ketika aku menolak untuk belanja titipannya. Dari barang-barang yang dibawa ketika pindah rumah, sep