Tetangga Oh Tetangga
"Mbak Shinta, boleh minta garamnya sedikit? Aku mau bikin ayam goreng tapi garamnya habis. Mau pergi ke warung kok males, panas-panas gini." Suara Bu Wahyuni mengagetkanku yang sedang mengulek bumbu. Wajahnya menyembul dari balik pintu belakang.
"Boleh, Bu. Silakan ambil seperlunya," sahutku sambil memberikan toples dan sebuah mangkuk kecil untuk wadah garam Bu Wahyuni.
"Kalau ada sekalian sama kunyit, bawang putih dan ketumbarnya, Mbak," ucapnya lagi tanpa merasa sungkan.
Bu Wahyuni adalah tetangga baruku, dia menempati rumah kosong di sebrang jalan, tepat berhadapan dengan rumahku. Baru sebulan tinggal di sini, dia sudah mulai akrab dengan keluargaku. Sering dia menitip belanjaan ketika aku ke pasar, dan ketika aku minta uangnya, selalu bilang, "pake uang Mbak Shinta dulu nanti aku ganti." Dan dia akan marah-marah ketika aku menolak untuk belanja titipannya.
Dari barang-barang yang dibawa ketika pindah rumah, sepertinya keluarga Bu Wahyuni termasuk orang berada. Rumah barunya di isi dengan barang-barang mewah dan mahal. Baju yang dipakainya juga terlihat bukan merk sembarangan, berbeda denganku yang selalu memakai daster ketika di dalam rumah.
Seperti biasa pagi ini aku berencana untuk pergi ke pasar. Setelah mengintip dari balik jendela, dan tidak terlihat Bu Wahyuni di depan rumah, aku bergegas keluar sambil membawa tas belanjaan. Aku menghela napas lega, aman. Aku melangkah dengan perasaan senang. Akhirnya aku bisa bebas belanja tanpa direpotkan sama titipan Bu Wahyuni.
Baru beberapa langkah aku berjalan. Terdengar suara Bu Wahyuni memanggil.
"Mbak Shinta, mau ke pasar, ya? Aku nitip ayam setengah kilo, soalnya anakku nggak mau makan kalau nggak sama ayam," ucap Bu Wahyuni. Akhirnya dengan terpaksa aku menghampirinya.
"Maaf, Bu. Bukannya saya tidak mau dititipin, tapi tolong bayar dulu utang Ibu yang kemarin." Aku menyerahkan catatan belanjaan yang belum pernah dibayarnya.
"Lha, kapan saya ngutang sama Mbak Shinta? Saya nggak pernah kekurangan uang, ngapain harus ngutang segala?" Sepertinya ucapanku membuat Bu Wahyuni merasa tersinggung.
"Maaf, Bu. Tolong dibaca dulu, itu catatan hutang Ibu selama seminggu. Nitip ayam setengah kilo seharga tujuh belas ribu dikali tujuh, jadi Rp119.000,00. Maaf saya butuh uangnya sekarang buat belanja."
Kendal, 30 Desember 2019.
Sumber : akun facebook Tina Oji
"Mbak Shinta, boleh minta garamnya sedikit? Aku mau bikin ayam goreng tapi garamnya habis. Mau pergi ke warung kok males, panas-panas gini." Suara Bu Wahyuni mengagetkanku yang sedang mengulek bumbu. Wajahnya menyembul dari balik pintu belakang.
"Boleh, Bu. Silakan ambil seperlunya," sahutku sambil memberikan toples dan sebuah mangkuk kecil untuk wadah garam Bu Wahyuni.
"Kalau ada sekalian sama kunyit, bawang putih dan ketumbarnya, Mbak," ucapnya lagi tanpa merasa sungkan.
Bu Wahyuni adalah tetangga baruku, dia menempati rumah kosong di sebrang jalan, tepat berhadapan dengan rumahku. Baru sebulan tinggal di sini, dia sudah mulai akrab dengan keluargaku. Sering dia menitip belanjaan ketika aku ke pasar, dan ketika aku minta uangnya, selalu bilang, "pake uang Mbak Shinta dulu nanti aku ganti." Dan dia akan marah-marah ketika aku menolak untuk belanja titipannya.
Dari barang-barang yang dibawa ketika pindah rumah, sepertinya keluarga Bu Wahyuni termasuk orang berada. Rumah barunya di isi dengan barang-barang mewah dan mahal. Baju yang dipakainya juga terlihat bukan merk sembarangan, berbeda denganku yang selalu memakai daster ketika di dalam rumah.
Seperti biasa pagi ini aku berencana untuk pergi ke pasar. Setelah mengintip dari balik jendela, dan tidak terlihat Bu Wahyuni di depan rumah, aku bergegas keluar sambil membawa tas belanjaan. Aku menghela napas lega, aman. Aku melangkah dengan perasaan senang. Akhirnya aku bisa bebas belanja tanpa direpotkan sama titipan Bu Wahyuni.
Baru beberapa langkah aku berjalan. Terdengar suara Bu Wahyuni memanggil.
"Mbak Shinta, mau ke pasar, ya? Aku nitip ayam setengah kilo, soalnya anakku nggak mau makan kalau nggak sama ayam," ucap Bu Wahyuni. Akhirnya dengan terpaksa aku menghampirinya.
"Maaf, Bu. Bukannya saya tidak mau dititipin, tapi tolong bayar dulu utang Ibu yang kemarin." Aku menyerahkan catatan belanjaan yang belum pernah dibayarnya.
"Lha, kapan saya ngutang sama Mbak Shinta? Saya nggak pernah kekurangan uang, ngapain harus ngutang segala?" Sepertinya ucapanku membuat Bu Wahyuni merasa tersinggung.
"Maaf, Bu. Tolong dibaca dulu, itu catatan hutang Ibu selama seminggu. Nitip ayam setengah kilo seharga tujuh belas ribu dikali tujuh, jadi Rp119.000,00. Maaf saya butuh uangnya sekarang buat belanja."
Kendal, 30 Desember 2019.
Sumber : akun facebook Tina Oji
Komentar
Posting Komentar